Segala puji bagi Allah, Yang Merajai pada hari pembalasan, Yang membalas kebaikan dengan keutamaan, dan membalas keburukan dengan penuh keadilan. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi panutan dan teladan bagi seluruh manusia Muhammad bin Abdullah, dan juga kepada para sahabatnya beserta pengikut mereka yang membela agama yang hanif ini dengan jiwa dan harta mereka. Amma ba’du.
Pada kesempatan yang berharga ini kita kembali akan membuka sebagian pelajaran penting dan hikmah berharga dari dua buah ayat suci al-Qur’an yang disebutkan oleh Syaikh al-Imam al-Mujaddid al-Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah– dalam kitabnya Kitab at-Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid. Kita memohon kepada Allah untuk mengaruniakan kepada kita ilmu yang membuahkan rasa takut kepada-Nya, amin.
Ayat Pertama:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin panutan, seorang yang selalu patuh kepada Allah, hanif/bertauhid, dan sama sekali dia tidak tergolong bersama kelompok orang-orang musyrik.” (QS. an-Nahl: 12)
Dari ayat yang mulia ini kita bisa memetik pelajaran, antara lain:
- Tauhid merupakan pokok seluruh ajaran agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul
- Kewajiban untuk meneladani keikhlasan nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam beribadah kepada Allah
- Semestinya seorang da’i menjadikan dirinya sosok yang patut untuk dicontoh oleh selainnya
- Ketekunan beribadah merupakan salah satu ciri khas para Nabi
- Tauhid tidak sah kecuali apabila diiringi dengan pengingkaran kepada syirik
- Ayat ini mengandung bantahan bagi orang-orang musyrik Quraisy jahiliyah yang mengaku bahwasanya apa yang mereka perbuat (berupa kesyirikan, dsb) adalah ajaran Nabi Ibrahim (enam faedah ini diambil dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 36)
- Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang yang berhasil merealiasikan tauhid dalam dirinya (lihat at-Tam-hid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 34). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya…” (Qurratul ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23). Syaikh Muhammad bin Shalih a-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa merealisasikan tauhid tidak akan mungkin bisa dilakukan kecuali apabia pada diri seseorang terkumpul tiga hal: [1] Ilmu, karena tidak mungkin seseorang mewujudkan sesuatu yang tidak diketahuinya. [2] Keyakinan. [3] Ketundukan/inqiyad, sebab keyakinan yang tidak diiringi ketundukan tidaklah bermanfaat sebagaimana yang ada pada diri Fir’aun dan bala tentaranya yang menentang dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam keadaan mereka meyakini kebenarannya (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid)
- Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak mengajarkan agama Yahudi maupun Nasrani, namun yang beliau ajarkan adalah ajaran Islam/tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi, bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif/bertauhid dan muslim/berserah diri. Dia juga bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67) (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 75-76 oleh Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah). Maka ayat ini merupakan ‘petir yang menyambar dan menghanguskan’ propaganda kaum Liberal dan Pluralis yang mengatakan bahwa ketiga agama ini -Islam, Yahudi, dan Kristen- memiliki inti ajaran yang sama dan masih bisa digolongkan dalam cakupan Abrahamic Religion (Agama warisan Nabi Ibrahim). Aduhai, tidakkah ayat ini menyadarkan kalian?
Ayat Kedua:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang karena rasa takut mereka kepada Rabbnya maka mereka pun dirundung oleh rasa cemas. Orang-orang yang mengimani ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka. Begitu pula orang-orang yang memberikan apa yang mampu mereka sumbangkan sementara hati mereka diwarnai dengan rasa takut, bagaimana keadaan mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang terdahulu melakukannya.” (QS. al-Mu’minun: 57-61)
Dari ayat yang mulia ini kita bisa memetik pelajaran, antara lain:
- Kewajiban untuk merasa takut terhadap siksaan Allah
- Kewajiban mengimani ayat-ayat Allah dan penunjukan hukum yang terkandung di dalamnya atas suatu perkara/permasalahan
- Diharamkannya syirik dengan segala macam jenis dan bentuknya
- Memberikan perhatian besar terhadap diterima atau tidaknya amalan merupakan salah satu karakter/ciri orang-orang soleh
- Dianjurkannya berlomba-lomba dalam amal-amal kebaikan (lima faedah ini diambil dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 38)
- Orang beriman adalah yang memadukan antara keimanan dan rasa khawatir/takut kepada Allah. Adapun orang munafik adalah yang memadukan antara kejelekan dengan perasaan aman dari hukuman Allah. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin memadukan antara perbuatan baik/ihsan dengan rasa kekhawatiran. Adapun orang munafik memadukan antara perbuatan jelek/isa’ah dengan perasaan aman.” (dinukil dari Qurratul ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 25). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka beserta kebaikan, keimanan, dan amal soleh yang ada pada diri mereka ternyata mereka juga senantiasa merasa takut dan khawatir akan hukuman Allah serta makar-Nya kepada mereka.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/261]). Dengan demikian merasa aman dari makar Allah adalah pintu kehancuran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada yang merasa aman dari makar Allah selain orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raaf: 99).
- Setiap orang yang berjuang keras untuk merealisasikan tauhid dalam dirinya pasti merasa khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima karena syirik atau yang lainnya.
Demikianlah sekelumit pelajaran yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan ini. Semoga Allah ta’ala memberikan kepada kita tambahan ilmu dan ketakwaan sehingga akan menjaga kita dari terjerumus dalam perkara-perkara yang mendatangkan murka-Nya. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 3 Dzulqo’dah 1430 H
Yang sangat membutuhkan bimbingan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
-semoga Allah memperbaiki dirinya-
http://abumushlih.com